JualBeli dengan Sistem Uang Hangus (بيع العربون) Jual-beli ' Urbun ( bai' al-'Urbun ) adalah suatu sistem atau bentuk jual beli dimana pembeli membayar sejumlah uang (uang muka) untuk menunjukkan keseriusan dalam melakukan transaksi jual beli. Jika jual beli tersebut dilanjutkan, maka uang muka tersebut akan menjadi bagian dari
Jual-Beli Seperti Segala nan Diperbolehkan Selam? Sreg dasarnya setiap manusia punya banyak kebutuhan setiap harinya baik itu kebutuhan sandang, wana dan kayu. Maka itu karena itu terjadilah transaksi bisnis demi menepati kebutuhan-kebutuhan tersebut. Belaka pernahkah Dia menyoal-tanya, apakah transaksi memikul yang terjadi di vitalitas sehari-periode telah sesuai dengan syariat hukum Islam? Karena kelihatannya saja dikarenakan ketidaktahuan kita, kita telah menubruk hukum Sang penyelenggara sehingga mengurangi keberkahan di internal sukma kita. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai radiks-mata air akar tunjang hukum jual beli ba’i privat Selam dengan tujuan bisa menghibur ketidaktahuan dan menelanjangi wawasan kita sehingga menghindarkan kita berpokok kelakuan-perbuatan yang bukan diridhai maka itu Allah SWT. Bagan Jual-Beli intern Islam Jual-Beli ba’i punya hukum mubah, ialah jika tergarap ataupun tidak dikerjakan maka lain mendapat habuan pahala dan juga enggak mendapat dosa. Cuma hukum ba’i dapat berubah sesuai peristiwa dan kondisi menjadi wajib, sunah, makruh bahkan gelap. Berikut sejumlah limbung syariat jual-beli dari Al-Alquran dan Al-Hadist. “….Sedangkan Sang pencipta telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” QS Al-Baqarah ayat 275. “Penjual dan pengasosiasi punya eigendom khiyar pilihan cak bagi menyinambungkan maupun membatalkan akad jual-beli selama mereka belum berpisah.” HR. Bukhari-Cucu adam selam. Privat kongkalikong didikan Islam, ba’i dibagi menjadi 3 tulangtulangan berdasarkan jihat obyek, sisi waktu pasrah-sambut dan sisi penetapan harga. 1. Ba’ibersumber sebelah obyek akad Menukar uang jasa dengan barang. Misal Menggilir laptop dengan rupiah. Mengganti produk dengan komoditas atau barter muqayadhah. Umpama Menukar handphone dengan jam tangan. Mengganti uang dengan uang jasa sharf. Andai Menukar Rupiah dengan Won. 2. Ba’i berpangkal sebelah waktu serah-terima Serah terima dagangan dan komisi dengan cara tunai. Serah terima barang dan tip dengan cara uang dibayar di muka akad salam. Serah songsong produk dan uang dengan cara barang dipedulikan di paras dan uang menyusul menggalas kredit/tak tunai/ba’i ajal. Timbang cak dapat produk dan uang tidak tunai alias niaga hutang dengan hutang ba’i dain bi dain. Misal Jual-beli pusat dengan tukar mengamini harga namun penjual lain memiliki produk dan pembeli tak punya uang tunai. Setelah komoditas terserah, barang dikirim kemudian dan uang diserahkan kemudian. 3. Ba’i dari arah penetapan harga Ba’i musawamah merupakan komersial dengan cara mansukh menawar. Misal Satu barang nan dijual dengan ditetapkan harga tertentu oleh penjual sonder menyebutkan harga trik dan perunding diberi kesempatan untuk menawar harga barang tersebut lembaga radiks ba’i. Ba’i amanah yaitu jual beli dengan kaidah penjual menyebutkan baik harga kancing produk dan harga jual barang tersebut. Ba’i spesies ini dibagi lagi menjadi 3 episode, ialah Ba’i murabahah, yakni penjual menyebutkan harga kunci barang dan keuntungan yang didapatkannya dari cak memindahtangankan barang tersebut. Misal “Saya membeli barang ini seharga Rp dan saya jual Rp maupun dengan keuntungan 20% berbunga modal.” Ba’i wadh’iyyah, ialah penjual menjual barang dagangannya dengan harga jual di dasar harga trik. Misal “Saya membeli produk ini dengan harga Rp dan akan saya jual dengan harga Rp Ba’i tauliyah, ialah penjual cak memindahtangankan produk dagangannya dengan harga jual serupa itu sekali lagi harga rahasia. Misal “Saya membeli barang ini dengan harga Rp dan akan saya jual dengan harga yang sebabat.” Lantas, Segala apa Syarat Baku Ba’i? Suatu transaksi jual-beli tidak akan legal apabila tidak terpenuhi 7 syarat-syarat berikut ini 1. Ubah rela antara kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli Syarat ini merupakan syarat yang mutlak harus ada kerumahtanggaan transaksi bisnis sesuai dengan firman Yang mahakuasa SWT “Hai cucu adam-bani adam yang beriman, janganlah sira tukar gado harta sesamamu dengan kronologi yang tawar, kecuali dengan perkembangan perdagangan yang dolan dengan senang setimbang suka di antara sira.” QS An Nisaa ayat 29. Makanya karena itu, transaksi perdagangan yang terjadi dikarenakan situasi tertekan/dipaksa maka transaksi tersebut dianggap tawar/enggak lumrah. Namun apabila internal satu situasi terdesak, bak seseorang terlilit hutang dan dipaksa oleh juri/qadhi lakukan lego hartanya demi melunaskan bagasi hutangnya, maka akad tersebut seremonial. 2. Kedua belah pihak pegiat akad yaitu anak asuh lelaki yang memenuhi syarat melakukan akad Maksud menunaikan janji syarat di sini ialah berakal dan telah baligh. Maka berpunca itu, akad yang dilakukan maka dari itu momongan asuh di bawah kehidupan, orang gila ataupun basyar dengan gangguang rohaniah dianggap enggak halal kecuali dengan pembebasan walinya. Semata-mata, ada pengecualian kerjakan anak di radiks nasib, merupakan bisa mengamalkan akad cuma cak bagi niaga hal boncel, perumpamaan permen. Syarat ini sesuai dengan firman Allah internal manuskrip An Nisaa ayat 5 dan An Nisaa ayat 6. 3. Saban praktisi akad memiliki hak nasib baik atas harta obyek transaksi Enggak sah menjual obyek nan tidak kita miliki dan minus seizin pemiliknya. Kerjakan dagangan milik anak asuh yatim, penyandang keterbelakangan mental alias bujukan spirit, maka pengasuh dari mereka disamakan statusnya sebagai pemilik komoditas tersebut. Kejadian ini berdasarkan hadist berikut “Jangan beliau jual komoditas yang bukan milikmu.” HR. Serbuk Dawud dan Tirmidzi. 4. Obyek transaksi yakni komoditas yang tak dilarang agama Cak memindahtangankan dagangan ilegal termasuk bawah tangan hukumnya. Sebagai cak memindahtangankan miras, daging babi, rokok, dan tak sebagainya. Hal ini berlandaskan hadist berikut “Sesungguhnya Allah bila mengharamkan suatu produk pula mengharamkan skor jual dagangan tersebut.” HR. Ahmad. 5. Obyek transaksi merupakan barang nan bisa diserahterimakan Transaksi jual beli enggak konvensional apabila obyek nan diperjualkan enggak boleh diserahterimakan. Misal, jual beli tanda jasa di langit. Hal ini berdasarkan hadist berikut Duli Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi melarang dagang gharar pengelabuan. HR. Mukmin. 6. Obyek transaksi harus jelas berpunca segi apapun dan diketahui maka dari itu kedua belah pihak Enggak diperbolehkan terjadi transaksi yang enggak jelas obyeknya. Bagaikan, memikul mobil tanpa dilihat pelengkap pula terlampau rang fisik serta spek mobilnya. Transaksi dengan obyek yang tidak jelas diklasifikasikan ke dalam gharar dan Allah jelas-jelas melarangnya. Untuk mencerna obyek transaksi bisa dilakukan dengan dua prinsip, merupakan Mengaram langsung produk sebelum akad alias pron bila akad. Penjual mengklarifikasi perincisan obyek secara sejelas-jelasnya kepada remedi sonder suka-suka nan ditutup-tutupi. 7. Harga obyek harus jelas saat transaksi terjadi Bukan konvensional suatu transaksi dagang apabila penjual tidak menamakan secara jelas harga obyek transaksi. Keadaan ini diklasifikasikan ke intern gharar. Sekian pembahasan mengenai jual-beli yang sesuai dengan latihan Islam. Sudahkah anda menerapkan syarat-syarat sahnya? Bagi engkau yang ingin berbuat transaksi kulak dengan sistem cicilan tapi bersimbah terkesan riba, jangan nanar! Dengan SyarQ, anda dapat melakukan transaksi dagang dengan sistem cicilan secara stereotip, sonder riba dan sonder denda. Sendang Fiqih Muamalah Maaliyah, Sharia Standards by Erwandi Tarmizi & Associates.
Ketentuan ketentuan dalam bab v, buku III, KUHPER digunakan untuku jual beli perusahaan, selain banyak unsur yang berbeda antara jual beli perdata dan jual beli perusahaan, juga karena mengandung unsur internasional. Tidak adanya peraturan nasional yang lengkap,bukan hanya terjadi di indonesia, tetapi juga terjadi di belanda atau di negara lain.
Ilustrasi Dalil Tentang Allah Menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba. Foto. dok. Alex Hudson tentang Allah Menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba LengkapIlustrasi Dalil Tentang Allah Menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba. Foto. dok. Madrosah Sunnah Dalil Tentang Allah Menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba. Foto. dok. Aqwam Jembatan Ilmu يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَArtinya Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya terserah kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. QS. Al-Baqarah 275.
Jualbeli online baru terpenuhi ketika unsur dalam pasal ini terpenuhi. 2) Pasal 1458 KHUP perdata berbunyi jual beli dianggap terjadi pada saat sepakat barang dan harga, meskipun belum diserahkan dan belum dibayar. 3) Pasal 1459 KHUP perdata Hak milik belum berpindah selama belum ada penyerahan.
Macam-macam jenis jual beli dapat ditinjau secara hukum halal-haram dan akad transaksi. Secara hukum, jual beli dalam Islam dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dihalalkan dan yang diharamkan. Dasar dan kriteria penentuan suatu jual beli apakah termasuk kategori halal atau haram/dilarang tentu dengan kembali pada dasar hukum dan kriteria atau neraca hukum agama mi’yar al-syari’ah yang telah ditentukan oleh Islam. Sedangkan jika ditinjau dari segi akad, jual beli dapat dibagi menjadi beberapa macam. Kendatipun demikian, semua pembagian ini tidak bisa dilepaskan dari aspek kebolehan kehalalan dan keharaman jual beli. Untuk menguraikan materi jual beli secara komprehensif, maka tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama tulisan ini mengurai soal macam-macam jenis jual beli, baik dalam tinjauan hukum halal-haram, maupun khusus ditinjau dari aspek akad atau transaksinya. Sedangkan, pada kesempatan berikutnya, penulis akan menjelaskan secara spesifik tentang macam-macam jenis jual beli yang halal dan haram serta banyak dijumpai dalam transaksi jual beli yang dilakukan masyarakat. Dengan demikian, tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu tuntunan untuk menakar atau mengukur suatu sistem jual beli yang dijalankan termasuk jenis yang diharamkan ataukah yang dihalalkan. JUAL BELI YANG DIPERBOLEHKAN DALAM ISLAM Beberapa bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam hukum fikih Islam, yaitu Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd, Bai’ al-Muqayadhah, Bai’ al-Salam, Bai’ al-Murabahah, Bai’ al-Wadhiah, Bai’ al-Tauliah, Bai’ al-Inah, Bai’ al-Istishna’, dan Bai’ al-Sharf. Di bawah ini akan diurakan mengenai pengertian dan contoh-contoh dari bentuk jual beli tersebut. Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd بيع السلعة بالنقد Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd yaitu menjual suatu barang dengan alat tukar resmi atau uang. Jenis jual beli ini termasuk salah satu jenis jual beli yang paling banyak dilakukan dalam masyarakat dewasa ini. Contoh Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd adalah membeli pakaian atau makanan dengan uang rupiah sesuai dengan harga barang yang telah ditentukan. 2. Bai’ al-Muqayadhah Bai’ al-Muqayadhah yaitu jual beli suatu barang dengan barang tertentu atau yang sering disebut dengan istilah barter. Jenis jual beli ini tidak hanya terjadi pada zaman dulu saja, namun juga masih menjadi salah satu pilihan masyarakat dewasa ini. Hal sangat prinsip yang harus diperhatikan dalam menjalankan jenis jual beli ini adalah memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan etika berbisnis dalam Islam. Selain itu, prinsip lain yang juga harus diperhatikan adalah hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian di antara kedua belah pihak serta tidak memunculkan aspek ribawi, terutama terkait dengan penukaran barter antara dua barang sejenis dengan perbedaan ukuran dan harga. Contoh Bai’ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung, pakaian dengan tas, atau binatang ternak dengan barang tertentu lainnya. 3. Bai’ al-Salam Bai’ al-Salam yaitu jual beli barang dengan cara ditangguhkan penyerahan barang yang telah dibayar secara tunai. Praktik jual beli jenis ini dapat digambarkan dengan seorang penjual yang hanya membawa contoh atau gambar suatu barang yang disertai penjelasan jenis, kualitas dan harganya, sedangkan barang yang dimaksudkan tidak dibawa pada saat transaksi terjadi. Jenis jual beli ini termasuk jual beli yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan suka rela dan tetap memperhatikan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan ketentuan ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan setelah salah satu pihak pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada pihak yang lain penjual/sales. Contoh Bai’ al-Salam adalah membeli perabotan rumah tangga, seperti kursi, meja atau almari dari seorang sales yang menawarkan barang dengan membawa contoh gambar/foto barang. Selanjutnya, barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu. Contoh lainnya adalah jual beli barang yang dipajang melalui media atau jaringan internet iklan. Calon pembeli mentransfer sejumlah uang kepada penjual sesuai harga barang, kemudian barang baru dikirim kepada pembeli. 4. Bai’ al-Murabahah بيع المرابحة Bai’ al-Murabahah yaitu menjual suatu barang dengan melebihi harga pokok, atau menjual barang dengan menaikkan harga barang dari harga aslinya, sehingga penjual mendapatkan keuntungan sesuai dengan tujuan bisnis jual beli. Tatkala seseorang menjual barang, ia harus mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, lebih-lebih hal itu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan demikian, mematok keuntungan yang terlalu tinggi dapat menyulitkan kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam menentukan besaran keuntungan, maka seorang penjual harus memiliki pertimbangan antara aspek komersial dan sosial untuk saling ta’awun saling menolong. Pada titik ini, bisnis yang dijalankannya memiliki dua keuntungan sekaligus, yaitu finansial dan sosial. Dalam agama Islam sering disebut “fiddun–ya hasanah wa fil akhirati khasanah kebahagiaan dunia dan akhirat”. Contoh Bai’ al-Murabahah adalah menjual baju yang harga aslinya Rp. menjadi Dengan demikian, penjual mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5000,-. 5. Bai’ al-Wadhiah بيع الوضيعة Bai’ al-Wadhiah yaitu kebalikan dari jual beli Murabahah, yaitu menjual barang dengan harga yang lebih murah dari harga pokoknya. Sebagai contoh misalnya, seorang menjual hand phone HP yang baru dibelinya dengan harga Namun karena adanya kebutuhan tertentu, maka ia menjual HP tersebut dengan harga Rp. Praktik jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, selama hal itu dibangun atas prinsip saling rela an–taradin, dan bukan karena paksaan. 6. Bai’ al-Tauliah بيع التولية Bai’ al-Tauliah yaitu jual beli suatu barang sesuai dengan harga pokok, tanpa ada kelebihan atau keuntungan sedikitpun. Praktik jual beli seperti ini digambarkan dengan seseorang yang membeli sebuah motor baru dengan harga Rp. Mengingat ia memiliki kebutuhan lainnya yang lebih penting atau pertimbangan tertentu, maka motor tersebut dijual dengan harga yang sama Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi prinsip dan tujuan jual beli pada umumnya, yaitu untuk mencari keuntungan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup ma’isyah seseorang. Namun perlu difahami bahwa biasanya praktik jual beli al-tauliyah dapat terjadi secara kasuistis karena adanya suatu kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual barang yang dimilikinya sesuai harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan sedikitpun. Jual beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan dalam Islam, selama dibangun di atas prinsip saling merelakan an–Taradhin, dan tidak terdapat unsur paksaan serta kezaliman. 7. Bai’ al-Inah بيع العينة Bai’ al-Inah yaitu jual beli yang terjadi antara dua belah pihak penjual dan pembeli, di mana seseorang menjual barangnya kepada pihak pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi, dan menjual dengan harga lebih murah jika dibayar secara tunai cash. Dalam fikih Islam, jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan “al-bai’ bitsamanin ajil” atau jual beli dengan sistem kredit, atau jual beli dengan pembayaran yang ditangguhkan. Jenis jual beli ini hukumnya Mubah boleh, dengan syarat, penjual harus memperhatikan hak-hak pembeli, penentuan harga yang wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan demikian, terdapat unsur saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli untuk menyediakan dan melonggarkan kesulitan masing-masing pihak. Seorang penjual membantu menyediakan barang bagi calon pembeli sesuai kemampuan daya beli dengan memberikan waktu sesuai kesepakatan. Di sisi lain, penjual juga tidak diperkenankan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan ketidakmampuan ekonomi calon pembeli demi mencari keuntungan semaksimal mungkin. Jika hal ini terjadi, maka pembeli akan merasa terpaksa mengikuti sistem yang ditetapkan penjual, karena kebutuhannya yang mendesak terhadap barang tertentu. Dalam praktik sehari-hari, tidak sedikit orang yang mengkreditkan barang dengan melakukan penyitaan mengambil kembali barang yang telah dikreditkan karena pembeli belum sanggup melunasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan tanpa memberikan toleransi atau penambahan waktu. Sistem seperti ini tentu merupakan bentuk kezaliman terhadap orang lain yang sangat dibenci dan dilarang oleh ajaran Islam. 8. Bai’ al-Istishna’ بيع الاستصناع Bai’ al-Istishna’ yaitu jenis jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu sesuai keinginan pemesan. Pemesan barang pada umumnya memberikan uang muka sebagai bentuk komitmen dan keseriusan. Setelah terjadinya akad atau kesepakatan tersebut, kemudian penjual memproduksi barang yang dipesan sesuai kriteria dan keinginan pemesan. Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan jual beli Salam bai’ al-Salam, namun tetap terdapat perbedaan. Di dalam jual beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya sudah ada, namun tidak dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual salesman hanya membawa foto atau contoh barang sample saja, kemudian diserahkan kepada pembeli setelah terjadinya kesepakatan di antara mereka. Sedangkan dalam jual beli istishna’, barang yang diperjual-belikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru dibuat setelah terjadinya kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai kriteria dan jenis barang yang dipesan. Contoh Bai’ al-Istishna’ adalah pemesanan pembuatan kursi, almari dan lain sebagainya kepada pihak produsen barang. Jenis jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang yang diperjual belikan belum ada, asalkan dibangun di atas prinsip saling merelakan an–taradhin, transparan tidak manipulatif, memegang amanah, serta sanggup menyelesaikan pesanan sesuai kesepakatan yang telah diputuskan bersama. 9. Bai’ al-Sharf بيع الصرف Bai’ al-Sharf yaitu jual beli mata uang dengan mata uang yang sama atau berbeda jenis currency exchange, seperti menjual rupiah dengan dolar Amerika, rupiah dengan rial dan sebagainya. Jual beli mata uang dalam fikih kontemporer disebut “tijarah an-naqd” atau “al-ittijaar bi al-umlat”. Abdurrahman al-Maliki mendefinisikan bai’ al-sharf sebagai pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenis dan jumlah yang sama, maupun dengan jenis yang berbeda dan jumlah yang sama ataupun tidak. Menurut para ulama, hukum jual beli mata uang adalah Mubah boleh, selama memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW berikut الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ. – رواه مسلم “Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir salah satu jenis gandum dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, takaran/timbangannya harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, pemberi dan penerima dalam hal ini sama” [HR. Muslim]. Dalam hadits lain, dijelaskan لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ. – رواه البخاري ومسلم “Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan” [HR. al-Bukhari dan Muslim]. Sekalipun kedua hadits tersebut berbicara tentang jual beli atau pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata uang saat ini. Hal ini tidak lain karena sifat yang ada pada emas dan perak saat itu sama dengan uang saat ini, yaitu sebagai alat tukar atau uang al-nuqud. Menurut para ulama fikih, termasuk Majelis Ulama Indonesia, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut Tidak untuk spekulasi untung-untungan;Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga simpanan;Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan secara tunai at-taqabudh;Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar kurs yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai. Narasumber utama artikelRuslan Fariadi Hits 12078
Haditsyang membatasi terjadinya riba hanya dalam utang piutang tersebut nampak ada pertentangan dengan hadits-hadits yang mengajarkan terjadinya riba dalam jual beli tunai dengan syarat terjadi tambahan antara barang-barang sejenis yang disebut riba fadhl. 4. Hadits yang melarang muamalah tertentu karena mengandung unsur ribawi. A. Soal Pilihan Ganda tentang Jual Beli dalam Islam Berilah tanda silang X pada huruf a,b,c atau d di depan jawaban yang paling benar! 1. Menurut bahasa, jual beli artinya …. a. tukar menukar barang b. mengambil barang c. membeli barang d. menjual 2. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan …. a. khiyar b. ariyah c. riba d. pinjam meminjam 3. Jual beli dihalalkan karena mengandung unsur …. a. penipuan b. tolong menolong c. keterpaksaan d. persaingan 4. Pada asalnya, jual beli hukumnya …. a. wajib b. sunah c. haram d. mubah 5. Membeli barang curian hukumnya …. a. wajib b. haram c. makruh d. sunah 6. Jual beli harus dilakukan atas dasar …. a. kepentingan b. kerelaan c. keterpaksaan d. saling percaya 7. Perhatikan tabel di bawah ini! Penjual Pembeli Berakal sehat Ijab Qabul Yang termasuk rukun jual beli pada daftar di atas ditunjukkan nomor …. a. 1, 2, 3 b. 1, 2, 4 c. 1, 3, 4 d. 2, 3, 4 8. Pak Udin membeli sebuah televisi baru. Ketika televisi dicoba di toko, semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Setelah sampai di rumah, tv dinyalakan. Ternyata tv tidak menyala. Karena kurang puas, pak Udin mengembalikan tv ke toko semula. Penjual tv mengganti dengan tv yang baru. Ilustrasi tersebut menggambarkan khiyar …. a. majlis b. syarat c. aibi d. aini 9. “Saya jual buku ini kepada engkau dengan harga Rp Pernyataan tersebut dalam istilah fikih dinamakan …. a. Qabul b. penawaran c. ijab Qabul d. ijab 10. Ahmad berusia 6 tahun. Ia menjual sebuah jam tangan kepada Pak Karim seharga Rp Dengan senang hati Pak karim membayarnya. Hukum jual beli pada cerita di atas adalah …. a. Tidak sah b. sunah c. Sah d. wajib B. Contoh Soal Essay Materi Jual Beli dalam Agama Islam Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar! 11. Jual beli ikan yang masih dalam kolam hukumnya …. 12. Menjual barang orang yang telah meninggal dunia untuk membayar hutang hukumnya…. 13. “Saya beli baju ini sesuai harga yang engkau tawarkan.” Kalimat tersebut dalam jual beli disebut…. 14. Membeli barang untuk ditimbun hukumnya …. 15. Membeli barang yang masih dalam … orang lain termasuk jual beli yang sah tetapi dilarang oleh agama. 16. Kesempatan memilih untuk meneruskan atau membatalkan transaksi dalam jual beli disebut …. 17. Jual beli dengan mengurangi timbangan hukumnya…. 18. Hak untuk mengembalikan barang yang dibeli sebab terdapat cacat disebut…. 19. Melakukan jual beli dengan cara yang baik hukumnya…. 20. Ucapan dari pembeli yang mengungkapkan bahwa ia berniat membeli barang dengan harga tertentu disebut …. 21. Mengapa Allah mengharamkan riba? 24. Sebutkan 4 macam jual beli yang dilarang! 25. Tuliskan nash al-Qur’an yang dijadikan landasan jual beli!

2 Dasar Hukum Jual Beli a. Al-Qur'an. Jual beli merupakan salah contoh saling tolong menolong antara sesame umat manusia yang mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur'an, Sunnah bahkan Ijma', terdapat. 37Abdul Rahmad Ghazaly,dkk, Fikh Muamalat Edisi Pertama, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm 67.

Dalam suatu aktivitas niaga sudah pasti menghendaki keuntungan ribhun dari barang yang bisa dijamin kemanfaatannya melalui akad pertukaran barang barter atau jual beli. Sementara riba, menghendaki keuntungan ziyadah dari akad pemberian utang tanpa wasilah barang riba qardhi, atau keuntungan dari jual beli akibat durasi waktu penundaan pelunasan riba al-buyu’. Hakikatnya kedua praktik ini sama-sama menghendaki keuntungan berupa tambahan harta pada pemberi utang muqridh atau pada pedagang pemilik barang dagangan ra’sul mal. Keuntungan az-ziyadah yang didapat dari riba hukumnya haram, disebabkan karena dua illat hukum yang terlibat di dalamnya, yaitu adanya penindasan zhulm dan akibat adh’afan mudha’afah berlipat hampir dua kali lipat. Ketiadaan memenuhi dua illat hukum ini, menandakan bahwa muamalah yang dilakukan adalah sesuai dengan maqashid syariah sebagai praktik menjaga hak-hak atas harta hifzhul mal. Kepatuhan menghilangkan unsur penindasan zhulm dan eksploitatif adh’afan mudha’afah merupakan praktik menjaga hak-hak atas agama hifzhud din, sebagaimana keduanya merupakan yang diharamkan secara ijma’. Karena keduanya diharamkan secara ijma’, maka demikian pula dengan riba, adalah diharamkan secara ijma’ pula. Sesuatu yang diharamkan secara ijma’, maka hukumnya adalah kafir bila mengkufurinya. Semangat menghilangkan penindasan ini juga berlaku atas jual beli. Meskipun di dalam nash disebutkan bahwa jual beli itu adalah halal, namun dalam realitanya, ada mekanisme jual beli yang dilarang oleh syara’. Beberapa praktik jual beli yang nyata dilarang oleh syariat secara ijma’, antara lain, adalah jual beli talaqqy rukban mencegat rombongan pedagang di tengah jalan, jual beli hadhir lil bad mencegat rombongan pedagang luar kota sebelum masuk pasar, ihtikar menumpuk barang saat masyarakat sedang paceklik, dan jual beli barang yang tidak bisa dijamin. Inti sari larangan transaksi muqtadhal aqdi sebagaimana praktik jual beli ini hakikatnya adalah untuk menghilangkan unsur penindasan terhadap sesama zhulm dan tindakan eksploitatif, yaitu mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat kecil/kaum mustadh’afin. Yang lebih unik, dari semua illat keharaman jual beli ini, adalah juga berlaku atas praktik jual beli yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan larangan nash seperti mabi’ barang yang dijual atau tata cara akadnya. Meskipun semua sah dan dibenarkan oleh syariat, akan tetapi bila praktik itu dilakukan dengan talaqqy rukban, bai’ hadhir lil bad, ihtikar, atau menjual barang yang tidak bisa dijamin, maka tidak diragukan lagi bahwa praktik-praktik itu sebagai yang tidak dibenarkan oleh syariat. Karena dilarang, maka termasuk haram dilakukan. Bahkan untuk menanggulangi ihtikar monopoli, diperbolehkan bagi seorang pemimpin negara atau pihak yang mewakilinya, atas nama menjaga kemaslahatan umum masyarakat, guna mengambil kebijakan yaitu merampas secara paksa harta yang ditimbun oleh pedagang, kemudian membagikannya kepada khalayak masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Selanjutnya, karena ada hak milik yang harus dijaga, negara dibenarkan untuk memberikan ganti rugi berupa harga mitsil harga standard kepada pemilik barang. Mencermati terhadap kasus ini, ada dua komponen yang rupa-rupanya hendak dijaga oleh syariat demi terwujudnya kemaslahatan, yaitu hak pemilik harta dan hak masyarakat karena adanya illat paceklik. Kedua hak ini harus dipenuhi seiring adanya maslahah dharury yang harus dicapai. Hal yang sama ternyata juga berlaku atas harta milik seseorang yang diduga ia memiliki tabiat israf boros. Demi menjaga kemaslahatan hidup person individu tersebut, negara/hakim/pemimpin masyarakat setempat wali dibenarkan untuk melakukan tindakan hajr menahan penasharufan barang milik musrif pemboros tersebut untuk tidak dibelanjakan, sehingga semua transaksinya dianggap tidak sah secara syariat. Sudah pasti tindakan hajr ini adalah karena sebuah alasan yang dibenarkan syariat, yaitu menghadirkan kemaslahatan. Menghadirkan kemaslahatan umum/khusus kepada masyarakat adalah tanggung jawab dari pemimpin/wali. Dalam praktik riba yang berkaitan dengan tukar menukar barang ribawi, sangat dikenal adanya transaksi bai’ araya. Bai araya didefinisikan sebagai بيع العرايا مصطلحات أن يشتري رجل من آخر ما على نخلته من الرطب بقدره من التمر تخمينا ليأكله أهله رطبا Artinya “Jual beli araya secara istilah, adalah jual beli yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan membeli kurma hijau ruthab milik pihak lainnya ditukar dengan kurma kering untuk kebutuhan makan keluarganya.” Mu’jam al-Ma’any Jadi, suatu ketika ada orang yang membutuhkan kurma kering untuk kebutuhan makan bagi keluarganya. Ia tidak memiliki sesuatu apapun selain kurma yang masih hijau di atas pohon. Lalu ia menghubungi saudaranya yang memiliki kurma kering untuk melakukan transaksi tukar menukar dengannya. Kurma kering ditukar dengan kurma yang masih dipohon, akad ini jelas-jelas merupakan transaksi ribawi. Kaidah yang diabaikan dalam hal ini adalah kaidah tamatsul kesamaan dari sisi berat. Karena praktik jual beli barang ribawi yang sama jenisnya sama-sama kurmanya melazimkan tiga ketentuan, yaitu wajib hulul kontan, tamatsul kesamaan takaran, dan taqabudh saling serah terima. Praktik bai’ al-araya ini mengabaikan ketentuan tamatsul. Itu sebabnya kemudian diterapkan sebuah pendekatan taqriban terhadap kaidah tamatsul ini. Sebagaimana hadits عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله تعالى عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَخَّصَ فِي الْعَرَايَا أَنْ تُبَاعَ بِخَرْصِهَا كَيْلًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Artinya “Dari Zaid bin Tsâbit radliyallahu anhu Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memberi keringanan dalam jual beli araya, yaitu Jual beli dengan melakukan kharsh takaran.”HR Bukhari dan Muslim. Kharsh dalam istilah ilmu hitung sering dimaknai dengan menaksir, dan mengira-ngira. Yang dikira-kira adalah kurma muda yang masih ada di pohon. Hadits ini memiliki jalur sanad sahabat Zaid ibn Tsabit. Beliau terkenal sebagai pakar ilmu hisab di jaman Nabi Muhammad SAW. Adapun batasan kebolehan jual beli araya adalah 5 ausuq. Sebagaimana hal ini tertuang dalam hadits وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله تعالى عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَخَّصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا بِخَرْصِهَا من التَّمر، فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ، أو فِي خَمْسَةِ أَوْسُقٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Artinya "Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu Rasulullah SAW telah menetapkan keringanan jual beli araya dengan jalan menaksir seberat kurma kering, dengan catatan beratnya tidak lebih dari 5 awsuq. ” HR Bukhari dan Muslim Lima ausuq itu setara dengan 1 nishab barang zakat. 1 wasaq setara dengan 60 sha’. 1 sha’ setara dengan 4 mud = kira-kira kg beras. Jadi, 1 wasaq itu kurang lebih setara dengan 60 sha’ x 2,5 kg beras = 150 kg. 5 wasaq kurang lebih sama dengan dengan 150 kg x 5 = 750 kg atau 7,5 kwintal beras. Sebuah angka pertukaran barang ribawi yang sejatinya cukup besar bagi masyarakat kita. Batasan 5 awsuq ini ibarat tahdids sil’i pamatokan kuantitas barang ribawi yang dibolehkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sehingga masuk akad pertukaran ribawi yang ditoleransi rukhshah oleh syariat. Sudah pasti toleransi ini memiliki illat kemaslahatan yaitu berupa kebutuhan manusia hajatun nas terhadap kurma kering sebagai makanan pokok. Jika ternyata dalam praktik jual beli ada juga jual beli yang dilarang, sementara dalam praktik riba, ternyata ada bagian pertukaran barang ribawi yang masih diperbolehkan oleh syariat, maka illat yang kuat mendasari kebolehan praktik pertukaran ribawi yang ditoleransi itu adalah karena faktor adanya hajatun nas. Sementara, illat yang kuat mendasari praktik dilarangnya pertukaran ribawi atau praktik jual beli, adalah karena adanya unsur penindasan zhulm dan eksploitatif sebagaimana tercermin dari adh’afan mudha’afah hampir dua kali kelipatan. Alhasil, muara keduanya ada pada kemaslahatan umat. Wallahu a’lam bis shawab. Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah-PW LBMNU Jawa Timur FakultasSyari ‟ah Jurusan Muamalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing Ika Susilawati, MM. Kata Kunci:Akad Perjanjian, Pembiayaan Mura
Hukum Jual Beli Yang Mengandung Unsur Riba Adalah. Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari’atNya. Oleh karena itu seseorang muslim yang melaksanakan transaksi jual beli, sebaiknya mengetahui syarat-syarat praktek jual beli berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, agar dapat melaksanakannya sesuai dengan syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan yang dilarang dan diharamkan. Salah satu contoh transaksi jual beli yang jujur adalah dengan cara penjual menyempurnakan takaran. Penjual akan memberitahukan kepada pembeli apabila terdapat cacat pada barang yang dia jual. Rasullullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” HR Abu Daud dan Ahmad. Transaksi jual beli yang dilakukan, hendaklah tidak melupakan kewajiban manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Jumuah ayat 9-10 yang artinya” “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Karena hal ini juga berarti ikut serta melakukan dan menyebarluaskan keharaman di muka bumi. Rasullullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” HR Abu Daud dan Ahmad. Dalam hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa Islam melarang transaksi jual beli harta riba. Tips Bertransaksi Saham Sesuai Syariah dari artikel dengan judul Cara Agar Transaksi Saham Sesuai Syariah yang dibuat oleh Drs. Lebih lanjut, mengacu pada kaidah dasar fiqih muamalah, yakni aspek hukum Islam yang mengatur tentang hubungan hak antar orang, termasuk di dalamnya aspek ekonomi, pada dasarnya kegiatan muamalah itu boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya. Di samping itu, jika menggunakan dalil analogi, saham juga dapat dipersamakan dengan salah satu bentuk kerja sama atau perkongsian dalam fiqih, yaitu syirkah al-amwal perkongsian di mana salah satu atau lebih kongsi memberikan saham/andil modal dalam sebuah usaha. 54, menerangkan hukum Islam kontemporer mengenal penyebutan baru yang kontekstual, yaitu syirkah musahamah atau perkongsian dengan cara penyertaan saham. Jadi, jelas bahwa saham adalah salah satu bentuk instrumen bisnis yang dibolehkan dalam hukum Islam. Beberapa hal yang harus kamu hindari agar transaksi saham tetap sesuai dengan koridor syariah. 230; insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas transaksi saham hal. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/ Tahun 2015 tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
Hukumjual beli yang semula mubâh (boleh) ini bisa berubah menjadi haram, jika salah satu di antara syarat sah jual beli tidak ada atau karena kondisi tertentu saat akad jual beli itu berlangsung. Syarat Jual Beli. Syarat-syarat keabsahan jual-beli meliputi syarat pelaku akad dan syarat barang. Pertama : Syarat orang yang melakukan akad jual-beli. Pada dasarnya, segala jenis jual beli hukumnya dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu, jual beli dalam kehidupan manusia bersifat aktif dan inovatif, bentuk dan jenis jual beli mengalami banyak perubahan, baik dari sisi komoditas yang diperjualbelikan ataupun dari sisi bentuk transaksinya. Hal ini mendasari betapa perlunya seorang muslim mengetahui bentuk dan jenis jual beli yang dilarang. Berdasarkan objek jual beli al-ma’qud alaihi maka sebab-sebab dilarangnya sebuah bentuk jual beli dapat dibagi menjadi lima kategori Pertama Jual beli yang mengandung unsur gharar dan jahalah. Kedua Jual beli yang mengandung unsur riba. Ketiga Jual beli yang mengandung unsur kemudhratan dan penipuan. Keempat Jual beli barang yang diharamkan. Kelima Jual beli yang dilarang karena adanya faktor lain external yang dilarang dalam syariat Islam. Kelima sebab ini akan dijelaskan secara terperinci dalam beberapa tulisan. Pertama Jual beli yang mengandung unsur gharar dan jahalah Gharar dalam jual beli bermakna akad jual beli terhadap sebuah barang yang tidak dapat diprediksi hasilnya apakah ia ada atau tidak, apakah ia bisa diserahterimakan atau tidak, apakah ia bisa diketahui atau tidak, semua ini masuk dalam kategori gharar. Adapun jahalah bermakna ketidakjelasan, yaitu ketidakjelasan yang kadarnya dapat menimbulkan perselisihan pada pihak yang melakukan transaksi jual beli. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berkata نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ،وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ Artinya Rasulullah ﷺ melarang jual beli al-hashaah dan jual beli al-gharar. HR. Muslim No. 1513 Syariat Islam melarang segala bentuk transaksi jual beli yang mengandung kedua unsur ini dalam rangka menjaga harta seseorang dari segala macam perselisihan yang dapat timbul. Dan yang terpenting bagi sesama muslim ia bertujuan untuk menjaga hubungan ukhuwah dan rasa cinta yang harmonis di antara kaum muslimin. Beberapa bentuk jual beli yang dilarang disebabkan mengandung kedua unsur ini adalah Jual beli al-mulaamasah dan al-munaabadzah Kedua jenis jual beli ini telah ada sejak dahulu. Al-mulaamasah artinya melakukan transaksi jual beli dengan hanya menyentuh/meraba barang yang diperjualbelikan tanpa memperhatikannya secara seksama, atau seseorang membeli sebuah barang dalam kegelapan dan ia tidak mengetahui barang tersebut. Adapun al-munaabadzah adalah dua orang yang melakukan jual beli saling melempar kepada pihak yang lain barang yang diperjualbelikan, dan transaksi tersebut langsung dianggap sah tanpa perlu memperhatikan barang yang dilemparkan kepadanya. Kedua jual beli ini dilarang berdasarkan hadits Abu Sa’id radhiyallahu ’anhu أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ المُنَابَذَةِ،وَهِيَ طَرْحُ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ بِالْبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُقَلِّبَهُ،أَوْيَنْظُرَإِلَيْهِ وَنَهَى عَنِ المُلاَمَسَةِ، وَالمُلاَمَسَةُ لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يُنْظَرُ إِلَيْهِ. Artinya Bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang jual beli al-munaabdzah; yaitu seseorang yang melemparkan pakaiannya dengan maksud jual beli kepada orang lain tanpa ia memeriksa dan melihat pakaian itu dengan seksama. Dan juga beliau melarang jual beli al-mulaamasah; yaitu menyentuh sebuah pakaian tanpa melihatnya dengan seksama. HR. Bukhari No. 2144 & Muslim No. 1512 Jual beli al-hashaah Jual beli al-hashaah adalah jual beli yang dilakukan dengan melempar sebuah batu kecil ke objek jual beli dan ketika mengena objek tersebut maka jual beli tersebut dianggap sah tanpa perlu memperhatikan barang tersebut secara seksama dan teliti. Jual beli ini dilarang oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu yang telah disebutkan di atas. Jual beli habalal-habalah Jual beli ini telah dikenal sejak masa jahiliyah, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma beliau berkata كَانَ أَهْلُ الجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُونَ لُحُومَ الجَزُورِ إِلَى حَبَلِ الحَبَلَةِ، قَالَ وَحَبَلُ الحَبَلَةِ أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ مَافِي بَطْنِهَا،ثُمَّ تَحْمِلَ الَّتِي نُتِجَتْ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ Artinya “Orang-orang di masa jahiliyah melakukan jual beli dari jual beli daging unta hingga jual beli habalal-habalah, yaitu jual beli yang dilakukan terhadap janin yang dikandung oleh unta betina, kemudian ketika janin itu lahir ditunggu hingga ia hamil dan melahirkan. Maka Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melarang mereka melakukan hal itu.” HR. Bukhari No. 3843 & Muslim No. 1514 Jual beli al-madhaamiin, al-malaaqiih dan asbal-fahl Jual beli al-madhaamiin adalah jual beli janin yang masih berada dalam kandungan induknya. Adapun jual beli al-malaaqiih adalah jual beli sperma pada seekor hewan pejantan unta, sapi, kambing dan lainnya. Kedua jenis jual beli ini dilarang karena keduanya jelas mengandung unsur gharar dan ketidakjelasan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمَضَامِينَ وَالْمَلَاقِيحِ وَحَبَلِ الْحَبَلَةِ Artinya Bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang jual beli al-madhaamiin, al- almalaaqiih dan habalal-habalah. HR. At-Thabraaniy dalam Mu’jamal-Kabiir, No. 11851 & al-Bazzaar, No. 4828. Berkata Al-Haitsami hadits ini Diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Kabiir dan Al-Bazzaar, dan terdapat di dalam sanadnya perawi bernama Ismail ibn Abi Habibah, beliau tsiqah terpercaya menurut Imam Ahmad tetapi didhaifkan oleh jumhur ulama, Majma’ Az-Zwaaid 4/104 Adapun asbalfahl adalah menyewakan seekor pejantan untuk mengawini seekor betina atau lebih. Jenis transaksi ini dilarang berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma beliau berkata نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الفَحْلِ Artinya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melarang asbal-fahl HR. Bukhari, No. 2284 Jual beli buah atau biji-bijian sebelum menunjukkan tanda-tanda kematangan. Masuk dalam kategori ini jual beli al-mukhaadarah; yaitu jual beli buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau belum matang. Begitu juga jual beli al-mu’aawamah/as-siniin, yaitu jual beli buah-buahan pada sebuah pohon atau lebih selama 2 tahun atau lebih. Jual beli yang seperti ini dilarang karena mengandung unsur gharar dan ketidakjelasan berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma beliau berkata نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، نَهَى البَائِعَ وَالمُبْتَاعَ Artinya Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga buah tersebut menunjukkan tanda-tanda kematangannya. Beliau melarang si penjual dan si pembeli. HR. Bukhari No. 2194 dan Muslim No. 1534 Larangan ini berlaku selama buah atau biji tersebut masih berada di pohonnya, adapun jika telah dipetik maka hal tersebut dibolehkan. Adapun tanda-tanda kematangan berbeda antara satu jenis buah dengan yang lainnya, terkadang dapat ditandai dari warna, keras dan lunaknya, rasanya dan lain sebagainya. Jual beli barang yang tidak diketahui majhuul Jual beli majhuul adalah segala bentuk jual beli yang mengandung unsur ketidakjelasan baik pada objek jual beli, harga, kadar barang yang diperjualbelikan ataupun penentuan waktu penyerahan barang. Begitu juga segala bentuk jual beli yang sulit diserahterimakan. Contohnya jika si A berkata kepada si B “Saya jual kepadamu 2 ekor kambing yang ada di kandang milikku,” tanpa ditentukan secara jelas 2 ekor kambing tersebut. Atau seperti ”Saya jual rumahku kepadamu jika si fulan meninggal dunia.” Bentuk jual beli yang seperti ini jika disepakati maka akadnya dikategorikan tidak sah batal karena mengandung ketidakjelasan yang dapat menimbulkan perselisihan pihak yang bertransaksi. Jual beli ats-tsunayya Jual beli ats-tsunayya transaksi jual beli yang dilakukan dengan mengecualikan sebagian dari objek jual beli tetapi pengecualian tersebut tidak ditentukan. Seperti jika si A berkata ke si B “Saya jual semua kambing di kandang milikku kecuali 2 ekor,” tapi tidak ditentukan yang mana 2 ekor yang dikecualikan. Jika yang dikecualikan telah ditetapkan dan dijelaskan maka jual beli tersebut dibolehkan dan dikategorikan sah. Dasar larang jual beli ini adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang beberapa jenis jual beli, dan salah satu diantaranya adalah jual beli ats-tsunayya HR. Muslim No. 1536 Menjual barang yang pada saat transaksi tidak dimiliki oleh si penjual Termasuk jual beli yang dilarang adalah melakukan transaksi jual beli terhadap sebuah barang yang tidak dimiliki oleh si penjual pada saat transaksi berlangsung. Jual beli ini dilarang karena mengandung gharar dan ketidakjelasan yang dapat menimbulkan perselisihan diantara pihak yang melakukan akad. Dasar larangan jual beli ini adalah hadits Hakim bin Hizaam radhiyallahu ’anhu, beliau berkata Aku pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata jika seseorang datang kepadaku dan memintaku untuk melakukan jual beli sesuatu yang tidak aku miliki, maka bolehkah aku pergi membeli untuknya barang itu dari pasar ? , maka beliau bersabda لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ Artinya “Jangan engkau menjual apa yang tidak engkau miliki” HR. Abu Dawud No. 3503 dan Tirmidzi No. 1232 Demikianlah, beberapa jenis jual beli yang dilarang dikarenakan mengandung unsur gharar dan ketidakjelasan. Tulisan berikutnya – Insya Allah – akan membahas beberapa jenis jual beli yang dilarang karena mengandung unsur riba. Semoga Allah melindungi kita semua dari jual beli yang dilarang. Aamiin. .
  • 53j3rthiyd.pages.dev/221
  • 53j3rthiyd.pages.dev/54
  • 53j3rthiyd.pages.dev/208
  • 53j3rthiyd.pages.dev/219
  • 53j3rthiyd.pages.dev/118
  • 53j3rthiyd.pages.dev/11
  • 53j3rthiyd.pages.dev/331
  • 53j3rthiyd.pages.dev/12
  • 53j3rthiyd.pages.dev/86
  • jual beli dihalalkan karena mengandung unsur